Senin, 09 April 2012

MENGHADIRKAN TUHAN DALAM DIMENSI POLITIK


Ajaran yang dibawa oleh setiap agama adalah bermuara pada pengakuan para pemeluknya bahwa Tuhan adalah titik sentral dalam berbagai dimensi kehidupan. Melibatkan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan merupakan bukti dan ukuran kesalehan seseorang dalam menjalani lintasan kehidupan, baik kesalehan ritual lebih-lebih kesalehan sosial. Untuk ukuran kesalehan ritual hanya dapat dinilai oleh pribadi masing-masing orang dan sifatnya privatisasi, sedangkan implementasi untuk membuktikan kesalehan ritual tersebut perlu dilihat dari nilai-nilai yang dipraktekkannya dalam kehidupan sosial.
Semakin tinggi tingkat kesalehan ritual seseorang maka semakin baik pula tingkat kesalehan sosialnya. Artinya, ketika manusia mampu mengendalikan segala potensi negatif dalam dirinya maka keyakinan besar dia akan dapat menjalani kehidupannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhannya.
Tuhan digambarakan sebagai zat yang Maha Kuasa dan mengatur alur kehidupan manusia sejak manusia itu dilahirkan sampai pada titik terakhir manusia itu masuk dalam liang kubur. Kehadiran Tuhan dalam segala dimensi kehidupan manusian merupakan sesuatu yang tidak terpungkiri, sebab Tuhan menguasai segenap wilayah sentral titik nadir kehidupan manusia.
Keyakinan akan adanya Tuhan dapat memberikan pola pikir dan pemahaman manusia akan suatu jalan kebenaran yang ia jalani. Semakin besar keyakinan tersebut maka semakin besar pulalah perkembangan etika dan moral seseorang, namun jika keyakinan tersebut sebatas pada pengucapan dan retorika belaka maka tidak terlalu memberi ruang kesalehan pada diri seseorang.
Dewasa ini moralitas dan religiusitas sosial manusia bisa diibaratkan sebagai “telur di ujung tanduk” yang tinggal retak dan akan pecah. Moralitas dan religiusitas seseorang tidak hanya ketaatannya dalam menjalani setiap ajaran Tuhan secara formalitas, namun pembuktian secara nyata melalu amal perbuatan merupakan implementasi riil bahwa seseorang itu meyakini akan adanya Tuhan dan merasa diawasi oleh Tuhan.

Tuhan Dalam Ranah Politik,,  adakah..?
Ketika diajukan pertanyaan, di manakah Tuhan ketika kita berpolitik? Masing-masing individu mungkin memiliki argumen tersendiri dalam menjawab pertanyaan ini. Tuhan bisa hadir dalam wacana dan orasi ketika berkampanye untuk menarik simpati orang lain, adakalanya juga Tuhan “dihadirkan” dalam pamflet-pamflet dan poster-poster pembumian diri ketika mencalonkan diri menjadi sesuatu, dan yang lebih menarik lagi Tuhan biasa dihadirkan melalui dalil-dalil politis untuk memuluskan proses perpolitikan.
Namun tidak banyak para politikus mampu menghadirkan Tuhan dalam urat nadi dan hatinya. Ketika Tuhan masuk dalam wilayah tersebut, maka kemungkinan besar tidak akan pernah terjadi money politic (penyuapan), politik praktis maupun dendam-dendam politik yang berujung pada konflik horizontal di tengah masyarakat.
Banyak kasus-kasus yang penulis temui, baik melalui pengamatan langsung di tengah masyarakat maupun melalui media-media elektronik dan cetak yang ada. contoh saja, partai-partai yang melakukan musyawarah pimpinan pusat maupun daerah dalam rangka memilih ketua umumnya tidak sedikit yang melakukan aktivitas penyuapan demi memuluskan salah satu calonnya. Hal ini tentu menjadi pertanyaan, bagaiman agama memandang tentang penyuapan? Jelas, jawabannya agama melarang dan bahkan mengharamkan penyuapan. Namun mengapa hal itu terjadi? Karena eksistensi Tuhan tidak pernah dihadirkan dalam persoalan tersebut.
Tidak sampai di situ saja, tiba saatnya hukum mulai menelusuri jejak penyuapan ini ternyata dana penyuapan merupakan uang Negara, sehingga diproses dalam peradilan dan menghadirkan para penyuap-penyuap ini ke meja hijau. Apa yang terjadi? Penyuap-penyuap ini justru mengelak dan tidak berkomentar banyak dan malahan berbohong untuk menutupi kejahatannya. Lagi-lagi Tuhan tidak pernah dihadirkan dalam persidangan kasus politik, sebab Tuhan tidak pernah mengajari manusia untuk berbohong dan memanipulasi pernyataan.
 Ini baru dalam kasus penyuapan, belum lagi kasus-kasus yang mengarah pada dendam politik. Secara rasional, manusia susah untuk menerima kekalahan, apalagi kekalahan setelah mengorbankan banyak materi. Hal ini justeru akan mematikan demokrasi dan menumbuhkembangkan pertikaian dan melahirkan permusuhan. Ketika kita sulit menerima kemenangan lawan, maka sudut pandang kita terhadap lawan yang menang sedikitpun tidak ada yang benar. Kita selalu mencari kelemahannya dengan dalih ingin meluruskan, kebenaran tidak akan pernah benar selama kita memandangnya dengan kaca mata minus. Lagi-lagi, ber-negatif tihingking merupakan sesuatu hal yang dilarang oleh Tuhan dalam agama, apalagi sesama manusia dan seakidah. Kenapa demikian? Karena Tuhan tidak dihadirkan dalam hal tersebut. Kenapa tidak dihadirkan? Sebab mereka tahu Tuhan tidak menyukai akan hal itu.
Di samping temuan penulis di atas, mungkin juga dari pembaca banyak yang memiliki pendapat demikian, sebab intinya ketika manusia itu cenderung melanggar hukum Negara atau melakukan kejahatan publik maka arrtinya juga dia melanggar hukum Tuhan. Seseorang yang melanggar hukum Negara atau hukum Tuhan otomatis dia melupakan Tuhannya.

Bersama Tuhan Wujudkan Politik yang Sehat
Sebagai Negara yang berasaskan hukum, tentu kita perlu melestarikan hukum tersebut agar sesuai dengan fungsinya. Apa fungsi hukum, yaitu memberikan kemaslahatan pada umat manusia, baik kemaslahatan dalam ekonomi, sosial, budaya pendidikan dan lebih-lebih kemaslahatan politik. Fungsi hukum ini diformulasikan ke dalam prakteknya dengan etika dan norma yang baik, sebab hanya etika dan norma yang baiklah yang mampu menciptakan kemaslahatan.
Namun ketika fungsi hukum dan praktek politik ini disalahgunakan maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan kosmos yang mengarah pada benturan-benturan horizontal di tengah masyarakat. Dengan begitu, keamanan dan ketertiban hidup manusia menjadi sesuatu yang mahal harganya. Berbagai kasus yang terjadi akhir-akhir ini, misalnya Bom Bima, pembakaran Kantor Bupati, KKN yang merajalela, tindakan amoral dan sebagainya merupakan produk dari ketidak seimbangan kosmos tersebut. Hal ini justeru akan membuat lumpuh hukum yang ada, ini dikarenakan manusia kurang begitu menyadari eksistensi keberadaan hukum ini. Hukum adalah hasil ijma’ dari akal pikiran yang sehat untuk landasan berpijak yang sehat pula.
Ketika seseorang cenderung suka melanggar hukum, maka bisa dikatakan orang tersebut tidak berpikiran sehat. Sebab hukum hanya berlaku pada orang-orang yang sehat akal pikirannya. Dengan demikian, ketika politik itu dijalankan dengan akal dan pikiran yang sehat, dengan tujuan kemaslahatan umat maka hasilnya akan terlihat dari tingkat kemaslahatan tersebut, jika sebaliknya politik itu dijalankan atas dasar ambisi kekuasaan, cita-cita pribadi, dan dendam masa lalu, maka prroduk yang dihasilkannyapun tidak lebih dari mencari keuntungan pribadi, menghalalkan segala cara, dehumanisasi, pertikaian politik, balas dendam, dan sejenisnya.
Dengan demikian berapa persen kemaslahatan yang didapat? Hanya sedikit saja, itupun tidak semuanya kebijakan yang lahir dari pemikiran, lebih pada asasi kemanusiaan atau naluri sebagai manusia yang masih memiliki kebaikan dalam bertindak. Setidaknya, mereka yang melakoni perpolitikan dengan etika dan norma yang benar adalah benar-benar mengejewantahkan nilai dan potensi dalam dirinya sebagai wakil Tuhan di Bumi ini. Sekiranya Tuhan selalu hadir dalam ranah dan ruang politik, maka keniscayaan akan indahnya perjalanan demokrasi di negeri ini menjadi sesuatu yang tak terlukiskan. Namun, politikus tidak akan disebut sebagai politikus sekiranya dia tidak berbohong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar