Ajaran yang dibawa oleh setiap agama
adalah bermuara pada pengakuan para pemeluknya bahwa Tuhan adalah titik sentral
dalam berbagai dimensi kehidupan. Melibatkan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan
merupakan bukti dan ukuran kesalehan seseorang dalam menjalani lintasan
kehidupan, baik kesalehan ritual lebih-lebih kesalehan sosial. Untuk ukuran
kesalehan ritual hanya dapat dinilai oleh pribadi masing-masing orang dan
sifatnya privatisasi, sedangkan implementasi untuk membuktikan kesalehan ritual
tersebut perlu dilihat dari nilai-nilai yang dipraktekkannya dalam kehidupan
sosial.
Semakin
tinggi tingkat kesalehan ritual seseorang maka semakin baik pula tingkat
kesalehan sosialnya. Artinya, ketika manusia mampu mengendalikan segala potensi
negatif dalam dirinya maka keyakinan besar dia akan dapat menjalani
kehidupannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhannya.
Tuhan
digambarakan sebagai zat yang Maha Kuasa dan mengatur alur kehidupan
manusia sejak manusia itu dilahirkan sampai pada titik terakhir manusia itu
masuk dalam liang kubur. Kehadiran Tuhan dalam segala dimensi kehidupan
manusian merupakan sesuatu yang tidak terpungkiri, sebab Tuhan menguasai
segenap wilayah sentral titik nadir kehidupan manusia.
Keyakinan
akan adanya Tuhan dapat memberikan pola pikir dan pemahaman manusia akan suatu
jalan kebenaran yang ia jalani. Semakin besar keyakinan tersebut maka semakin
besar pulalah perkembangan etika dan moral seseorang, namun jika keyakinan
tersebut sebatas pada pengucapan dan retorika belaka maka tidak terlalu memberi
ruang kesalehan pada diri seseorang.
Dewasa
ini moralitas dan religiusitas sosial manusia bisa diibaratkan sebagai “telur
di ujung tanduk” yang tinggal retak dan akan pecah. Moralitas dan religiusitas
seseorang tidak hanya ketaatannya dalam menjalani setiap ajaran Tuhan secara
formalitas, namun pembuktian secara nyata melalu amal perbuatan merupakan
implementasi riil bahwa seseorang itu meyakini akan adanya Tuhan dan merasa
diawasi oleh Tuhan.
Tuhan Dalam Ranah
Politik,, adakah..?
Ketika
diajukan pertanyaan, di manakah Tuhan ketika kita berpolitik? Masing-masing individu
mungkin memiliki argumen tersendiri dalam menjawab pertanyaan ini. Tuhan bisa
hadir dalam wacana dan orasi ketika berkampanye untuk menarik simpati orang
lain, adakalanya juga Tuhan “dihadirkan” dalam pamflet-pamflet dan
poster-poster pembumian diri ketika mencalonkan diri menjadi sesuatu, dan yang
lebih menarik lagi Tuhan biasa dihadirkan melalui dalil-dalil politis untuk
memuluskan proses perpolitikan.
Namun
tidak banyak para politikus mampu menghadirkan Tuhan dalam urat nadi dan
hatinya. Ketika Tuhan masuk dalam wilayah tersebut, maka kemungkinan besar
tidak akan pernah terjadi money politic (penyuapan), politik
praktis maupun dendam-dendam politik yang berujung pada konflik horizontal
di tengah masyarakat.
Banyak
kasus-kasus yang penulis temui, baik melalui pengamatan langsung di tengah
masyarakat maupun melalui media-media elektronik dan cetak yang ada. contoh
saja, partai-partai yang melakukan musyawarah pimpinan pusat maupun daerah
dalam rangka memilih ketua umumnya tidak sedikit yang melakukan aktivitas
penyuapan demi memuluskan salah satu calonnya. Hal ini tentu menjadi
pertanyaan, bagaiman agama memandang tentang penyuapan? Jelas, jawabannya agama
melarang dan bahkan mengharamkan penyuapan. Namun mengapa hal itu terjadi?
Karena eksistensi Tuhan tidak pernah dihadirkan dalam persoalan tersebut.
Tidak
sampai di situ saja, tiba saatnya hukum mulai menelusuri jejak penyuapan ini
ternyata dana penyuapan merupakan uang Negara, sehingga diproses dalam
peradilan dan menghadirkan para penyuap-penyuap ini ke meja hijau. Apa yang
terjadi? Penyuap-penyuap ini justru mengelak dan tidak berkomentar banyak dan
malahan berbohong untuk menutupi kejahatannya. Lagi-lagi Tuhan tidak pernah
dihadirkan dalam persidangan kasus politik, sebab Tuhan tidak pernah mengajari
manusia untuk berbohong dan memanipulasi pernyataan.
Ini
baru dalam kasus penyuapan, belum lagi kasus-kasus yang mengarah pada dendam
politik. Secara rasional, manusia susah untuk menerima kekalahan, apalagi
kekalahan setelah mengorbankan banyak materi. Hal ini justeru akan mematikan
demokrasi dan menumbuhkembangkan pertikaian dan melahirkan permusuhan. Ketika
kita sulit menerima kemenangan lawan, maka sudut pandang kita terhadap lawan
yang menang sedikitpun tidak ada yang benar. Kita selalu mencari kelemahannya
dengan dalih ingin meluruskan, kebenaran tidak akan pernah benar selama kita
memandangnya dengan kaca mata minus. Lagi-lagi, ber-negatif tihingking merupakan
sesuatu hal yang dilarang oleh Tuhan dalam agama, apalagi sesama manusia dan
seakidah. Kenapa demikian? Karena Tuhan tidak dihadirkan dalam hal tersebut.
Kenapa tidak dihadirkan? Sebab mereka tahu Tuhan tidak menyukai akan hal itu.
Di
samping temuan penulis di atas, mungkin juga dari pembaca banyak yang memiliki
pendapat demikian, sebab intinya ketika manusia itu cenderung melanggar hukum
Negara atau melakukan kejahatan publik maka arrtinya juga dia melanggar hukum
Tuhan. Seseorang yang melanggar hukum Negara atau hukum Tuhan otomatis dia
melupakan Tuhannya.
Bersama Tuhan Wujudkan
Politik yang Sehat
Sebagai
Negara yang berasaskan hukum, tentu kita perlu melestarikan hukum tersebut agar
sesuai dengan fungsinya. Apa fungsi hukum, yaitu memberikan kemaslahatan pada
umat manusia, baik kemaslahatan dalam ekonomi, sosial, budaya pendidikan dan
lebih-lebih kemaslahatan politik. Fungsi hukum ini diformulasikan ke dalam
prakteknya dengan etika dan norma yang baik, sebab hanya etika dan norma yang
baiklah yang mampu menciptakan kemaslahatan.
Namun
ketika fungsi hukum dan praktek politik ini disalahgunakan maka yang terjadi
adalah ketidakseimbangan kosmos yang mengarah pada benturan-benturan horizontal
di tengah masyarakat. Dengan begitu, keamanan dan ketertiban hidup manusia
menjadi sesuatu yang mahal harganya. Berbagai kasus yang terjadi akhir-akhir ini,
misalnya Bom Bima, pembakaran Kantor Bupati, KKN yang merajalela, tindakan
amoral dan sebagainya merupakan produk dari ketidak seimbangan kosmos tersebut.
Hal ini justeru akan membuat lumpuh hukum yang ada, ini dikarenakan manusia
kurang begitu menyadari eksistensi keberadaan hukum ini. Hukum adalah
hasil ijma’ dari akal pikiran yang sehat untuk landasan
berpijak yang sehat pula.
Ketika
seseorang cenderung suka melanggar hukum, maka bisa dikatakan orang tersebut
tidak berpikiran sehat. Sebab hukum hanya berlaku pada orang-orang yang sehat
akal pikirannya. Dengan demikian, ketika politik itu dijalankan dengan akal dan
pikiran yang sehat, dengan tujuan kemaslahatan umat maka hasilnya akan terlihat
dari tingkat kemaslahatan tersebut, jika sebaliknya politik itu dijalankan atas
dasar ambisi kekuasaan, cita-cita pribadi, dan dendam masa lalu, maka prroduk
yang dihasilkannyapun tidak lebih dari mencari keuntungan pribadi, menghalalkan
segala cara, dehumanisasi, pertikaian politik, balas dendam, dan sejenisnya.
Dengan
demikian berapa persen kemaslahatan yang didapat? Hanya sedikit saja, itupun
tidak semuanya kebijakan yang lahir dari pemikiran, lebih pada asasi
kemanusiaan atau naluri sebagai manusia yang masih memiliki kebaikan dalam
bertindak. Setidaknya, mereka yang melakoni perpolitikan dengan etika dan norma
yang benar adalah benar-benar mengejewantahkan nilai dan potensi dalam dirinya
sebagai wakil Tuhan di Bumi ini. Sekiranya Tuhan selalu hadir dalam ranah dan
ruang politik, maka keniscayaan akan indahnya perjalanan demokrasi di negeri
ini menjadi sesuatu yang tak terlukiskan. Namun, politikus tidak akan disebut
sebagai politikus sekiranya dia tidak berbohong.